Ketika seseorang berkomitmen untuk masuk dalam dunia pendampingan desa maka sesungguhnya dia sudah berkomitmen pula untuk menegakkan marwah sebagai pendamping yang bekerja secara profesional. Dua kata kunci yang perlu mendapat perhatian adalah kata bekerja dan profesional.
Tentang hakikat bekerja Dede Nurohman (2011:33) menyatakan bahwa bekerja adalah ibadah. Bekerja bukan hanya mengandung manfaat sosial, tetapi juga bernilai ritual. Bekerja juga dimaknai sebagai berjuang (jihad). Bekerja adalah perjuangan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Jadi sangat naif jika makna bekerja didefinisikan secara sempit hanya sebatas mencari makan.
Sementara kata profesional sendiri berarti (1) bersifat profesi (2) memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, (3) beroleh bayaran karena keahliannya itu. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua kriteria pokok, yaitu keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Artinya seseorang dapat dikatakan memiliki profesionalisme manakala memiliki dua hal pokok tersebut, yaitu keahlian (kompetensi) yang layak sesuai bidang tugasnya dan pendapatan yang layak sesuai kebutuhan hidupnya (J.S. Badudu, 2003).
Mungkin ada yang bertanya, kenapa harus kembali ke khittah? Secara etimologis, kata khittah berasal dari bahasa Arab yang berarti rencana, jalan, atau garis. Itu tertera dalam kamus Al-Munawwir. Khittah dapat diartikan sebagai rencana, jalan, atau garis perjuangan dalam mewujudkan misi dan cita-citanya (Bani Saksono, 2013). Rencana, jalan dan garis perjuangan pendampingan desa sudah sangat baik dirumuskan dalam Peraturan Menteri Desa PDTT No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa. Sesuai kodratnya, mestinya fokus gerakan lokomotif dan gerbong tim pendampingan desa on the track di jalur yang sudah diarahkan dalam Peraturan Menteri Desa PDTT No. 3/2015 tersebut. Paradoks yang muncul dalam perbincangan terkait pendampingan desa justru sering diwarnai diksi dan narasi beraroma politik.
Apa salah bila pendampingan desa menyerempet ke persoalan politik? Manusia adalah makhluk politik (politikon zoon), demikian doktrin Aristoteles. Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bersama dengan orang lain sehingga disebut makhluk politik. Doktrin ini berpandangan bahwa dari awal manusia memiliki dorongan politis yang menggerakan mereka ke arah kehidupan bersama. Menjadi warga negara berarti berpartisipasi secara langsung dalam pelaksanaan sebuah kedaulatan (Yosef Keladu Koten, 2010). Di sisi lain, P. Anthonius Sitepu berpandangan agak sedikit mengkhawatirkan, beliau menyampaikan bahwa politik pada umumnya menunjukkan sebagai gambaran sebuah konflik (P. Anthonius Sitepu, 2012). Nada kekhawatiran dalam pandangan P. Anthonius Sitepu ini yang juga yang perlu dipertimbangkan ketika kita sebagai Tenaga Pendamping Profesional (TPP) kemudian hanyut ikut terbawa mengembangkan diksi dan narasi poilitik dalam menjalankan tugas-tugas profesionalisme.
Tujuan pendampingan desa yang secara jelas telah dituangkan dalam pasal 2 Peraturan Menteri Desa PDTT No. 3/2015 memerlukan fokus dan perhatian ekstra kita sebagai TPP. Banyak permasalahan di desa dalam implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang secara moril menjadi tanggung jawab kita sebagai TPP. Ombudsman Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat secara umum menggambarkan situasi tersebut dengan narasi "Temuan kami di lapangan sama dengan daerah lainnya, yakni pengelolaan dana desa yang kurang profesional dan kurang transparansi" (http://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwk--ombudsman-kalbar-temukan-praktik-maladministrasi-pengelolaan-dana-desa). Konklusi dari situasi ini adalah sebagai TPP mari kita kembali ke khittah yang sudah ditentukan dan fokus menjalankan tupoksi kita sesuai prinsip-prinsip profesionalisne. Soal politik biarkan ada orang lain yang mengurusnya.@wry